Hustle Culture: Yang Salah dari Bangga Bekerja Berlebihan

hustle culture adalah

Hustle culture (bekerja berlebihan) beberapa waktu ini banyak jadi tren. Tapi, apa itu baik bagi kesehahtan? Yuk cari tahu dampak dan cara menguranginya!

Remember when Ariana Grande said..
Almost is never enough,
Do you really feel that?

Delapan (atau mungkin belasan jam) di depan laptop, bolak-balik switch tab agar bisa hadir di meeting yang bersamaan, tumpukan email yang tak sempat dibaca, dan masih menganggap bahwa dirimu belum bekerja keras sepanjang hari?Welcome to Hustle Culture!” 

Tapi, apa sih itu? Sederhananya, hustle culture adalah kebiasaan yang terlalu mementingkan bekerja. Terdengar mirip dengan workaholic ya? Nah, agar kamu tidak semakin bingung, yuk, mari kita bahas bersama mengenai hustle culture ini.

 

Pengertian Hustle Culture

Dalam bahasa Indonesia, kata hustle diartikan sebagai ‘semangat yang meluap’, sedangkan hustle culture adalah budaya yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti kapan pun dan di mana pun. Karier dianggap sebagai aspek terpenting dalam hidup yang diperoleh melalui kerja keras.

Pengertian-Hustle-Culture

Penganut hustle culture percaya bahwa apa yang ia lakukan tak pernah cukup untuk mencapai kesuksesan.

 

Ciri Hustle Culture

Mereka yang terjerat dalam hustle culture dinamakan hustlers. Selintas terdengar keren meskipun sebenarnya mengkhawatirkan. Mengapa demikian? Hustlers selalu termotivasi untuk mencapai kesuksesan di usia muda. Dalam prosesnya, tak jarang mereka kerja mati-matian hingga larut malam, mengambil side job, hingga mengabaikan waktu istirahat.

Ciri utama dari seorang hustlers adalah merasa bersalah ketika waktunya diisi dengan refreshing atau istirahat. Segala hal yang mereka kerjakan harus berhubungan dengan pekerjaan. Semakin banyak bekerja, semakin dekat jalan untuk mewujudkan ambisi.

Hustlers berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan orang produktif. Padahal, keduanya jelas berbeda. Produktivitas diartikan sebagai cara menghasilkan output yang berkualitas dalam waktu singkat, sedangkan hustlers berusaha bekerja dalam durasi yang panjang tanpa memperhatikan kualitas output yang berhasil diraih bahkan bisa terkesan terlalu keras.

ciri-ciri-hustle-culture

ilustrasi bekerja (pexels.com)

Budaya ini juga berdampak terhadap penurunan kreativitas individu. Menurut Dr. Jeanne Hoffman, psikolog dari UW Medicine, bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru melumpuhkan produktivitas dan inovasi seseorang.

Yang terakhir, hustlers tak mau tertinggal di belakang. Mereka selalu belajar, bekerja, dan mengorbankan segalanya demi mencapai puncak. Meskipun tujuannya baik, hustle culture membuat orang tak peduli lagi dengan kesehatan fisik dan mental. Hal ini juga bisa membuat mereka terlihat seperti gila kerja.

Duh, semoga kamu bukan termasuk hustlers, ya!

 

Penyebab Hustle Culture

Hustle Culture tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kebiasaan/budaya tersebut itu muncul. Hmm…apa saja ya penyebabnya?

1. Teknologi

Kemajuan teknologi jadi penyebab hustle culture menyebar dengan cepat. Smartphone yang kamu miliki tak hanya berfungsi untuk berkomunikasi, tetapi juga sarana untuk bekerja. Mengirim email, menyusun presentasi, video call dengan atasan, hingga mengadakan diskusi antartim bisa dilakukan dalam aplikasi yang tersedia di ponsel.

Ikuti kelas: Manajemen Waktu Agar Kerja Lebih Produktif

 

Tanpa disadari, deretan aplikasi tadi membuat seseorang bekerja terus menerus. Kemudahan dalam menjalankan urusan kantor berubah menjadi rasa cemas, takut, dan mendorong individu untuk bekerja sepanjang waktu.

 

2. Konstruksi Sosial

Jabatan dan finansial telah menjadi tolok ukur kesuksesan hidup. Semakin melejit karir seseorang, otomatis hidupnya semakin mapan. Siapa yang berhasil membeli aset di usia muda, akan menjadi patokan bagi orang-orang di sekelilingnya, termasuk dirimu.

Alhasil, kamu jadi terpacu untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya agar bisa membeli rumah, kendaraan, atau sekadar meningkatkan taraf hidup. Meskipun tujuannya baik, hal ini tak selamanya benar. Budaya “hustle” memaksa seseorang untuk bekerja mati-matian demi menyandang titel sukses dari lingkungan sekitar.

 

3. Toxic positivity

Menurut Dr. Jaime Zuckerman, Psikolog Klinis di Pennsylvania, toxic positivity adalah dorongan untuk tetap berasumsi positif walaupun sedang mengalami situasi tertekan. Asumsi ini bersumber dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar. Seringkali kita merasa lelah karena pekerjaan yang menumpuk. Alih-alih berhenti, malah muncul kalimat yang tidak realistis, seperti

“Jangan nyerah, kamu pasti bisa. Ayo kerja lagi!”

“Masa gitu aja capek? Kapan suksesnya?”

Atau quote yang tampak pada gambar di bawah ini

quotes hustle culture

contoh quote toxic positivity (livegreatquotes.com)

Toxic positivity semakin berkembang selama pandemi COVID-19. Kondisi ekonomi yang memburuk mendorong orang untuk bekerja lebih giat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak sedikit dari mereka yang mengalami stres, tetapi enggan meluapkan emosinya. Toxic positivity memaksa manusia untuk tetap tegar dalam situasi tersulit sekalipun. Pada akhirnya, kesehatan mental pun jadi terabaikan.

Baca juga: Toxic People yang Harus Kamu Hindari di Tempat Kerja

 

Dampak dari Hustle Culture

Setidaknya ada empat dampak bagi seseorang yang sudah terjerat oleh Hustle Culture. Berikut penjelasan selengkapnya.

1. Kehilangan Work Life Balance

Work Life Balance adalah keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi. Menghabiskan waktu bersama keluarga, pasangan, ataupun teman dapat mengurangi tingkat stres akibat pekerjaan. Sosialisasi berpengaruh terhadap kebahagiaan seseorang. Dilansir inc.com, kebahagiaan dapat meningkatkan kreativitas dan menghasilkan energi positif.

Sebaliknya, obsesi kerja yang berlebihan berdampak terhadap penurunan aktivitas sosial. Dari pagi ke pagi, hidupmu selalu berkutat dengan deadline. Tak ada teman bicara untuk berbagi keluh kesah, karena tenggelam di antara tumpukan pekerjaan.

 

2. Burnout Syndrome

Menurut World Health Organization (WHO), burnout adalah kondisi stres kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, frustrasi, dan sulit berkonsentrasi. Gejala burnout tidak terjadi dalam semalam, tetapi dialami secara bertahap.

Burnout disebabkan oleh banyaknya tanggung jawab yang dipikul, lingkungan kerja yang buruk, serta kehilangan dukungan sosial. Jam kerja yang tidak beraturan juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Alih-alih memiliki waktu untuk istirahat malah membuat kamu stres terus-menerus.

Baca Juga: Tanda-tanda Kamu Burnout di Tempat Kerja

 

3. Kurang Bersyukur

Salah satu ciri hustlers adalah tak mau tertinggal dari pencapaian orang lain. Sebisa mungkin harus berada di posisi sama. Karier dan finansial merupakan dua hal yang selalu mereka kejar. Bukannya mensyukuri apa yang ada saat ini, mereka malah terus mencari duniawi.

Bekerja keras adalah hal yang baik dan tidak dilarang. Namun, dengan semangat kerja yang menggebu-gebu, hustler mudah iri dengan kesuksesan orang lain. Hal ini sebenarnya bagus karena mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang selalu berkembang. Akan tetapi,  hustler tidak mau berhenti sebelum ia menjadi orang yang paling sukses di lingkungannya.

 

4. Menyusahkan Rekan Kerja

Kenapa nggak angkat telepon saya semalam?” ujar seorang Manager di suatu pagi. Padahal, semalam yang dimaksud adalah pukul 2 dini hari saat kamu sedang tertidur akibat lembur. Pernah menghadapi situasi seperti ini? Tarik napas dulu, yuk!

Bisa jadi manajer di kantormu adalah seorang hustler. Tak hanya merugikan diri sendiri, penganut budaya ini juga merugikan rekan satu tim. Mereka memaksa orang lain untuk bekerja dengan intensitas yang tinggi. Seringkali hustler memberi pekerjaan pada rekannya di jam istirahat atau hari libur.

Baca Juga: Tips Berhenti Jadi People Pleaser di Kantor

Itu dia pembahasan singkat mengenai hustle culture. Apakah kamu termasuk orang seperti kriteria di atas? Tak perlu berlebihan dalam mengejar ambisi, sesuaikan dengan porsi kemampuan diri sendiri.

Kalau sedang mencari kelas peningkatan hard skills maupun soft skills, kamu bisa lho cobain kelas-kelas pelatihan dari Skill Academy. Materinya mudah dipahami dan disampaikan oleh profesional di bidangnya.

SKill Academy - CTA

Referensi:

Hustle Culture [Daring]. Tautan: https://www.economica.id/2020/09/08/hustle-culture-tren-bagi-si-penggiat-kerja/ (diakses  21 Maret 2020)

https://blog.runrun.it/en/hustle-culture/ (diakses  21 Maret 2020)

Munculnya Hustle Culture [Daring]. Tautan: https://www.maize.io/magazine/rise-grind-hustle-culture/ (diakses  21 Maret 2020)

Bahaya Hustle Culture [Daring] Tautan: https://rightasrain.uwmedicine.org/life/work/hustle-culture (diakses  21 Maret 2020)

Salsabila Nanda