Menjadi Seorang Perfeksionis itu Baik atau Buruk, Sih?
Kamu punya sifat perfeksionis? Sebenarnya itu baik atau buruk, ya? Yuk, cari tahu jawabannya!
—
Pernah nggak kamu rela menghabiskan waktu berjam-jam melakukan sesuatu atau merevisi pekerjaan berkali-kali?
“Ulang ah, masih kurang bagus.”
“Duh, ada yang miring, ulang lagi aja deh biar bagus.”
Jadinya kamu butuh waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Karena kamu mau hasilnya sempurna. Ada salah dikit, ulang. Kurang rapi, ulang.
Kalau kamu seperti ini, bisa jadi kamu termasuk orang yang perfeksionis.
Apa itu perfeksionis?
Perfeksionis adalah karakter atau sifat seseorang yang punya standar tinggi dan mengejar kesempurnaan. Rencana-rencananya, hasil kerjanya, dan lainnya. Pokoknya semua harus sempurna. Selain itu, mereka juga mengkritik diri sendiri secara berlebihan dan takut akan penilaian orang lain.
“Bagus dong. Jadi pekerjaan pasti bagus, nggak mageran, gigih, dan semuanya pasti selesai.”
Iya benar, perfeksionis memang punya sisi positif. Tapi kalau berlebihan, jadinya malah nggak baik. Ini bisa menyebabkan kecemasan, kelelahan, dan juga memperlambat pekerjaan.
Jadi, perfeksionis ini punya dua sisi. Positif dan juga negatif. Tergantung jenis perfeksionisnya. Menurut D.E. Hamachek, perfeksionis terbagi menjadi dua: healthy perfectionist dan neurotic perfectionist.
“Emang apa, sih, perbedaan keduanya?”
Pertama, healthy perfectionist atau perfeksionis yang sehat. Orang-orang dengan karakter ini biasanya punya standar yang tinggi, tapi masih realistis. Mereka berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya. Bukan terbaik dari semua orang. Jadi, ketika ada goals atau standar yang nggak tercapai, misalnya, nggak apa-apa. Hal tersebut bisa dijadikan evaluasi agar lebih baik lagi. Mereka menerima kalau misalnya ada kegagalan atau kesalahan dalam hidup.
Kedua, ada neurotik perfeksionis atau bisa juga disebut maladaptif perfeksionis. Orang-orang yang punya karakter ini, biasanya nggak cuma memasang standar yang tinggi. Tapi cenderung nggak realistis. Mereka, berusaha untuk menjadi yang terbaik dari semua orang. Ketika goals atau standarnya nggak tercapai, mereka akan menyalahkan dan menghukum diri sendiri, bahkan menyalahkan orang lain.
Kelihatan, ya, bedanya? Punya standar tertentu dan berusaha yang terbaik tentu boleh dan sangat baik. Tapi, kalau menuntut semua harus sempurna, tentu sulit bukan? Yang ada malah lelah dan cemas sendiri.
Baca juga: Cara Masuk Flow State: Sebuah Zona untuk Bahagia dan Produktif
Kenapa seseorang bisa jadi perfeksionis?
Menurut Matt Plummer, CEO dari perusahaan online coaching, mengatakan bahwa, seseorang jadi perfeksionis karena perasaan tidak aman atau insecure. Jika mereka melakukan sesuatu dan hasilnya nggak sempurna, mungkin karir atau posisinya jadi terancam. Karena itu mereka selalu ingin punya hasil yang sempurna.
Selain itu, biasanya mereka ingin diterima oleh banyak orang. Semakin sempurna, berarti semakin diterima. Kurang lebih begitu. Padahal, pikiran, tindakan, dan perilaku orang lain adalah sesuatu di luar kendali kita. Sesempurna apapun, pasti ada saja yang nggak suka. V BTS misalnya, seganteng dan sekeren itu juga ada aja yang nggak suka, kan?
Faktor genetik atau keturunan juga berpengaruh. Kalau orang tuanya perfeksionis, tentu mereka akan menuntut anak-anaknya untuk sempurna juga. Jadi, kalau ada sesuatu yang nggak sempurna, anak akan dimarahi, dihukum, mungkin. Akhirnya, si anak juga terdorong untuk punya sikap perfeksionis.
Cara mengatasi perfeksionis neurotik
Seperti yang sudah dibahas di atas, ternyata sifat perfeksionis neurotik ini punya beberapa dampak buruk. Untuk menghindari dampak tersebut, berikut 4 cara mengatasi perfeksionis neurotik yang bisa kamu coba:
1. Jangan takut gagal atau salah
Salah dan gagal itu manusiawi. Dalam hidup, siapa saja pasti pernah melakukan kesalahan. Semua orang juga pasti pernah mengalami kegagalan.
Ketika gagal atau salah, nggak apa-apa. Semuanya bisa kamu jadikan pembelajaran agar semakin hari semakin baik.
Lalu diingat lagi, berapa banyak kegagalan dan kesalahan yang akhirnya bisa bikin kamu belajar, berkembang, dan sampai di titik ini. Ternyata melakukan kesalahan dan gagal nggak seburuk itu. Ada banyak hal yang nggak sempurna dan itu nggak apa-apa.
2. Hilangkan pikiran kompetisi dengan orang lain
Membandingkan diri sendiri dengan orang lain nggak akan ada habisnya. “Kok orang udah sampai mana-mana tapi gue masih di sini-sini aja, ya?”
Berhenti, dan coba ubah jadi melihat perkembangan diri sendiri dari waktu ke waktu. Kamu memberi usaha terbaik untuk semua hal yang kamu kerjakan, pasti kamu juga turut berkembang. Cuma, kamu terlalu fokus melihat orang lain tanpa sadar kalau diri sendiri sudah diajak berjuang dan berkembang selama ini.
Coba untuk lebih fokus dan sayang sama diri sendiri, ya.
3. Belajar dikotomi kendali
Coba pahami lagi, dalam hidup, nggak semuanya bisa kita kendalikan. Nggak semuanya bisa berjalan sesuai keinginan kita. Kamu bisa belajar menerapkan prinsip stoik yaitu dikotomi kendali. Intinya, kamu nggak bisa memaksakan hal-hal yang diluar kendali, tapi kamu bisa memaksimalkan apa saja yang dapat dikendalikan.
Yang nggak bisa dikendalikan, misalnya pikiran orang, omongan tetangga, atau perilaku orang lain. Masa depan juga nggak bisa dikendalikan, tapi bisa diusahakan. Upgrade skill, investasi, menabung, dan lainnya.
4. Bersyukur
Klise banget, ya? Tapi coba, deh. Kalau terlalu sering melihat ke atas bikin kamu merasa kurang terus, bikin leher pegal dan lelah. Coba tundukkan kepala sebentar aja. Lihat, berapa banyak orang yang nggak seberuntung kamu. Lalu syukuri apa yang kamu punya.
Bisa makan enak, bisa melewati bulan demi bulan dengan baik, badan sehat, pikiran yang luar biasa cerdas, bisa punya penghasilan, dan banyak lagi. Daripada terus merasa kurang, ada banyak hal yang bisa kamu syukuri. Sesederhana bersyukur bisa beresin kerjaan tepat waktu.
Melihat ke atas untuk motivasi diri itu bagus, tapi jangan lupa untuk nunduk bentar sesekali.
—
Nah itu dia pembahasan tentang sifat perfeksionis. Jadi, nggak apa-apa jadi orang perfeksionis. Asal kamu bisa menjaganya agar tidak berlebihan biar bisa tetap bahagia. Banyak hal diusahakan untuk mencapai kesempurnaan tapi nggak bahagia, untuk apa, kan? Semoga cara mengatasinya bisa bermanfaat, ya. Kalau kamu tertarik untuk belajar seputar pengembangan diri, kamu bisa mengikuti banyak kelas dari Skill Academy.
Referensi:
Hayes, Clarin. ‘Perfeksionis Selalu Sukses?’ [daring]. Tautan: https://www.youtube.com/watch?v=_EOoc3oJ5Hc&ab_channel=ClarinHayes (Diakses pada: 05 Juli 2021)
Personal Excellence. ‘Top 11 Signs That You Are a Perfectionist [daring]. Tautan: https://personalexcellence.co/blog/perfectionism/ (Diakses pada: 06 Juli 2021)
Personal Excellence. How To Overcome Perfectionism: Your Complete Guide [daring]. Tautan: https://personalexcellence.co/blog/overcome-perfectionism/ (Diakses pada: 06 Juli 2021)
Study.com. ‘Adaptive vs Maladaptive Perfectionism’ [daring]. Tautan: https://study.com/academy/lesson/adaptive-vs-maladaptive-perfectionism.html (Diakses pada: 06 Juli 2021)