Esensialisme: Membuat Pekerjaanmu Menjadi Lebih Efektif
Artikel ini membahas konsep esensialisme yang dapat membuat aktivitas dan pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih efektif.
—
“Kerja cerdas bukan kerja keras”
Kamu pasti pernah mendengar istilah tersebut. Konsep kerja keras seakan-akan kini tidak seperti dulu yang sering disampaikan oleh orang tua kita. Tapi, apakah kamu pernah merasakan, ketika sudah bekerja keras tetapi hasilnya tidak memuaskan? Ternyata permasalahan tersebut bisa diatasi dengan menerapkan konsep esensialisme, lho.
Hah “isme”? Apakah ini sebuah ideologi baru atau filsafat berat?
Tenang, guys. Kamu tidak akan membaca mengenai filsafat berat dengan berbagai asumsi di dalamnya. Pada tulisan ini kamu akan mengetahui bagaimana cara membuat aktivitas yang kamu lakukan dapat menjadi lebih efektif dengan menerapkan konsep esensialisme. Keep scrolling!
Apa itu esensialisme?
Pada dasarnya, esensialisme merupakan tindakan yang mengutamakan hal yang paling penting dengan mengenyampingkan hal yang kurang penting. Greg McKeown yang merupakan pengarang dari buku Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less, berpendapat bahwa esensialisme adalah pendekatan yang disiplin dan sistematis untuk menentukan di mana letak titik kontribusi tertinggi kita, kemudian membuat pelaksanaan hal-hal tersebut tanpa susah payah.
Alih-alih membuat pilihan secara praktis, konsep esensialisme membuat kamu bisa membedakan hal yang vital dan hal yang sepele, mengenyampingkan yang tidak penting, dan kemudian menghilangkan halangan sehingga hal-hal penting tersebut dapat dilakukan dengan mudah.
Misalnya, kamu bekerja sebagai seorang content marketing dengan tugas utama membuat konten berupa video di media sosial untuk klien. Menurutmu dengan melakukan segala hal, bisa membuat kamu menjadi orang yang dapat diandalkan khususnya di tempat kamu bekerja.
“Sepertinya saya bisa nih mengerjakan hal ini, ini, dan ini.”
Kamu merasa tidak masalah ketika diminta untuk melakukan hal-hal yang diluar pekerjaan utama kamu, seperti membuat daftar pengeluaran dari bagian marketing.
Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, Namun, jika kamu melakukannya dengan terus-menerus akan menjadi kebiasaan. Nantinya, malah membuat kamu kehabisan waktu buat mengerjakan hal yang sebetulnya penting.
Dengan menerapkan konsep ini, kamu jadi lebih bisa memilih untuk mengerjakan mana yang penting atau esensial buatmu. Seperti menyelesaikan pembuatan konten sebelum menerima permintaan untuk membuat daftar pengeluaran dan lain-lain.
Supaya kamu tidak menjadi lebih bingung terkait esensialisme, Greg McKeown memberikan ilustrasi seperti seperti sinar matahari mengenai perbedaan seorang essentialist dengan non-essentialist dalam melakukan sebuah aktivitas.
Jika diibaratkan pada ilustrasi di atas, seorang non-essentialist seperti matahari yang energinya dihabiskan ke segala arah. Non-essentialist melakukan semua pekerjaan yang dianggap bisa untuk diselesaikan. Namun pada kenyataannya, alih-alih menyelesaikan semuanya, pekerjaan yang dilakukan malah tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Sehingga tujuan utama yang diinginkan tidak tercapai.
Sedangkan seorang essentialist, seperti matahari yang mengarahkan energinya ke satu arah. Essentialist memutuskan untuk fokus kepada satu pekerjaan dengan tujuan yang jelas, dan mengenyampingkan pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Sehingga pekerjaan utama dapat diselesaikan dengan cepat.
Hal ini bisa dikaitkan dengan bagaimana sebenarnya kerja keras belum tentu menghasilkan hasil yang bagus. Ketika kamu bekerja keras dengan melakukan semuanya sekaligus, tidak menjamin hasilnya akan baik dan memuaskan. Kamu seakan-akan enggan terlihat tidak sibuk dan akhirnya yang kamu dapatkan hanya rasa lelah. Daripada membagi energi kamu pada tujuan yang banyak, maka lebih baik memfokuskan energi kamu kepada satu tujuan sehingga dapat menjadi lebih efektif. Ini bukan bagaimana menyelesaikan lebih banyak hal tetapi menyelesaikan hal yang tepat.
Pengaruhnya terhadap tindakan
Pada dasarnya, tidak rumit untuk dapat menerapkan konsep esensialisme. Karena setiap tahapannya tidak lepas pola pikir dan cara kita bertindak. Bagi kamu yang berminat menggunakan konsep ini, kamu dapat menggunakan beberapa tahapan berikut.
Kemampuan untuk memilih
Tahapan pertama yang harus kamu lakukan adalah mencoba mengenal dirimu dengan baik. Jelajahilah secara perlahan bagaimana pola pikir yang biasa kamu aplikasikan pada setiap tindakan yang kamu lakukan. Tak jarang, setiap tindakan yang akan kamu lakukan bergantung pada pilihan yang ada. Pada tahap ini kamu dapat memulai untuk berani untuk memilih mana yang penting dan tidak penting.
Kita sebenarnya hidup dengan kondisi yang memiliki banyak pilihan. Tetapi, terkadang kita ngerasa seperti nggak punya pilihan atau bahkan nggak punya kemampuan untuk memilih. Kamu sebenarnya punya kekuatan untuk memilih apa yang ingin kamu lakukan. Meskipun situasinya sulit atau kendali yang kamu miliki kecil. Kalau kamu nggak menggunakan kemampuan untuk memilih, kamu sebenarnya menyerahkan nasibmu untuk dipilihkan orang lain atau situasi.
Misalnya, ketika kamu sedang pada proses mencari kerja, kamu biasanya akan menunggu panggilan interview. Selama proses menunggu tersebut, situasinya membuat kamu seperti tidak ada pilihan, yang ada hanya menunggu. Padahal jika kamu amati lebih dalam, kamu sebenarnya memiliki beberapa pilihan selain menunggu sembari mengisi waktu yang kosong, seperti mengambil kelas pelatihan yang dapat meningkatkan skill mu.
Namun, jika kamu tidak memilih apapun, maka nasibmu akan dipilihkan oleh situasi. Kamu hanya akan menunggu tanpa melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupanmu.
Tapi proses memilih itu tidak semudah yang terlihat!
Memang benar, hal tersebut biasanya terjadi ketika kamu seakan-akan tidak punya pilihan. Tetapi pada dasarnya setiap tindakan yang akan kita lakukan selalu memiliki pilihan. Tinggal kita untuk memutuskan berani melakukan hal yang kita pilih atau tidak.
Jika kamu merasa masih ragu, kamu dapat menggunakan persentase peluang pada setiap pilihan kamu. Misalnya, jika kamu dihadapkan pada beberapa pilihan, coba ukur persentase seberapa pentingnya pilihan tersebut.
Jika keyakinan kamu hanya sekitar 50%, maka tidak ada salahnya untuk tidak memilih. Karena dalam konsep esensialisme, kamu akan mencoba untuk menghindari hal-hal yang tidak pasti sehingga dapat membuat tindakan kamu menjadi lebih efektif tanpa membuang energi banyak. Namun, jika kamu yakin 80-100% maka pilih hal tersebut.
Baca juga: Begini 5 Cara Meningkatkan Kemampuan Problem Solving dan Tips Mengatasi Masalah
Di samping itu, dalam proses untuk memilih sesuatu, nantinya akan ada hal yang harus kamu tukarkan terkait pilihan kamu. Ketika kamu memilih untuk menolak sesuatu yang dianggap kurang penting atau tidak masuk ke dalam prioritasmu, maka ada resiko yang kamu tukarkan yaitu bisa seperti nilai-nilai atau cara pandang orang terhadap dirimu.
Misalnya ketika di lingkungan kerja, temanmu mengajak untuk melakukan projek kecil-kecilan untuk menambah pemasukan. Namun, kamu memiliki hal yang lebih penting yaitu menganalisis penyebab kurangnya penjualan pada periode sebelumnya. Sehingga kamu lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Ketika kamu lebih memilih menyelesaikan pekerjaan, mungkin temanmu akan menganggap kamu tidak bisa diajak kerja sama. Tetapi, itulah salah satu resiko ketika menerapkan esensialisme.
Untuk meyakinkan kamu dalam proses memilih, kamu bisa menekankan pertanyaan berikut pada setiap tindakan yang akan kamu lakukan.
“Akankah aktivitas/upaya ini memberikan kontribusi setinggi mungkin terhadap tujuan saya?”
Mengeliminasi
Setelah kamu memutuskan untuk memilih, langkah selanjutnya yaitu menyingkirkan hal-hal yang dirasa tidak penting. Namun, sebelum menyingkirkan hal tersebut, kamu harus memiliki tujuan yang jelas.
Tujuan tersebut bukan hanya untuk pencapaian akhir melainkan bentuknya haruslah jelas, konkrit, dan menginspirasi.
- Tujuan yang inspirasional adalah tujuan yang dapat memiliki dampak besar yang membuat kamu mudah untuk termotivasi. Misalnya kamu ingin membuat layanan ojek yang praktis yang bisa diakses hanya menggunakan handphone
- Tujuan yang konkrit adalah tujuan yang dapat diukur dan dirasakan prosesnya. Misalnya pada bulan ini kamu bersama tim harus dapat meningkatkan penjualan produk sebesar 70 persen dari bulan sebelumnya.
Lalu bagaimana bentuk tujuan yang konkrit dan menginspirasi?
Menurut Greg Mckeown, tujuan yang konkrit dan menginspirasi adalah strategi berupa visi-misi yang dapat diukur, dengan bentuk menarik, dan sesuai dengan realita. Sehingga bukan hanya sekedar omong kosong.
Misalnya, kamu bekerja di bidang marketing jasa ojek online. Kamu memiliki tujuan dalam kurang waktu 3 tahun, bisa mendapatkan customer sebanyak 1jt orang dengan target di Jakarta.
Dengan memiliki tujuan yang jelas, kamu dapat memilih dan mengeliminasi hal-hal yang penting dan tidak penting dalam mencapai tujuan kamu tersebut. Kamu akan melakukan langkah-langkah yang penting saja. Contohnya, membuat iklan yang menarik dengan platform media sosial yang memiliki banyak pengguna sebagai mediumnya.
Selain itu, dikutip dari Positivepsychology.com, ketika kamu sudah memiliki tujuan yang jelas, maka kamu akan mudah untuk memahami tindakan kamu selanjutnya. Kamu tahu persis apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Sehingga hasil dari tindakan yang dilakukan dapat menjadi sumber motivasi kedepannya.
Selanjutnya yang bisa kamu terapkan pada tahapan mengeliminasi yaitu berani untuk mengatakan “tidak” dan berani untuk menghentikan komitmen kepada hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuan mu.
Tapi, untuk mengatakan “tidak” bukan hal yang mudah!
Memang benar, terlebih di lingkungan sosial. Akan ada situasi di mana kita sulit untuk mengatakan tidak. Tapi, di situ lah seninya
Kamu bisa mengatakan “tidak” dengan halus atau memberikan alternatif berupa pilihan lain. Yang mana pada intinya yaitu membuat kamu tidak terlalu terlibat dalam hal yang tidak penting. Sehingga kamu dapat mencapai tujuan kamu tanpa melakukan ha-hal yang kurang penting.
Misalnya pada waktu akhir jam, kerja tiba-tiba rekan kerja mu mengajak untuk meeting virtual antar tim tentang projek tahunan. Tetapi pekerjaan kamu untuk hari itu belum selesai.
Pada saat tersebut, konsep esensial dapat kamu terapkan mengenai memilih hal yang sangat penting (esensial) dan hal yang kurang penting. Untuk menolak ajakan tersebut, kamu dapat menjelaskan kondisimu atau memberikan pilihan lain.
Contohnya
“Sorry bro, gua gak bisa ikutan nih, kerjaan untuk hari ini masih belum selesai”
Atau
“Lu duluan aja, atau gak ajak si B. Sepertinya kerjaannya sudah selesai, nanti gua nyusul deh”
Mengatakan “tidak” bukan hal yang buruk, kamu sebenarnya lebih pada menolak ide/gagasannya, bukan pada menolak pribadi dari orang tersebut. Sehingga selama alasan kamu logis, maka tidak ada yang salah dari mengatakan “tidak”.
Selanjutnya, sejalan dengan keberanian kamu untuk mengatakan tidak, nantinya kamu juga akan bisa untuk memberhentikan sebuah komitmen. Yang mana komitmen tersebut sudah tidak yang tidak sejalan lagi dengan tujuan kamu, walaupun kamu sudah memberikan effort yang besar pada komitmen tersebut.
Tapi kan tidak mudah untuk berhenti dari sebuah komitmen!
Terkait hal tersebut, ternyata ada sebuah konsep bernama sunk-cost fallacy yang membahas mengenai pengaruh komitmen terhadap kehidupan kita.
Menurut Christopher Olivola pada penelitiannya yang berjudul The Interpersonal Sunk-Cost Effect, sunk-cost fallacy adalah kecenderungan umum bagi orang untuk melanjutkan usaha, atau terus berkomitmen akan sesuatu, dengan alasan mereka telah menginvestasikan waktu, uang, atau usaha di dalamnya. Efek dari tindakan tersebut memaksa kamu melakukan hal-hal yang mengakibatkan ketidakbahagiaan atau lebih buruk.”
Misalnya, kamu telah bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang staf marketing selama 3 tahun dengan tujuan dapat menjadi seorang manajer marketing, namun 1 tahun terakhir kamu tidak merasakan kemampuan kamu di bidang marketing meningkat dan malah merasakan kondisi kantor yang kurang sehat alias toxic.
Dengan alasan telah lama bekerja dan sudah banyak usaha yang kamu lakukan untuk meningkatkan penjualan pada perusahaan tersebut, kamu memutuskan untuk bertahan.
Dengan menerapkan esensialisme, kamu akan berani untuk memutuskan kontrak atau resign. Karena jika tetap di sana, kamu tidak kunjung mencapai tujuanmu untuk menjadi seorang manajer.
Oleh karena itu, dengan memutuskan komitmen yang dirasa tidak menguntungkan bahkan merugikan, dapat menjadi cara terbaik untuk mencapai tujuan awal yang kamu rencanakan.
Mengeksekusi
Ketika kamu sudah memiliki tujuan dan menyingkirkan bagian yang mengganggu, maka selanjutnya adalah melakukan eksekusi untuk mencapainya. Dalam proses mencapai tujuan tersebut kamu pasti akan menemukan berbagai macam halangan. Konsep esensialisme membuat kamu dapat terhindar dari hal-hal yang yang memperlambat kamu. Alih-alih sibuk untuk mencari penyebabnya, kamu dapat menghilangkan rintangan atau halangan tersebut.
Misalnya kamu memiliki bisnis pakaian dengan tujuan utama yaitu produk kamu dapat dengan cepat sampai di kota C. Pada proses distribusi kamu menggunakan jasa kurir A yang membutuhkan 4-5 hari untuk mengantarkan barang (rintangan). Kamu tinggal mengganti jasa kurir A dengan kurir yang lebih cepat agar tujuan kamu dapat tercapai.
Selain itu, dengan menerapkan esensialisme, kamu juga dapat menyusun tahapan sederhana dalam mencapai tujuan. Tahapan kecil yang kamu selesaikan sedikit demi sedikit, jauh lebih baik daripada melakukan sesuatu secara sekaligus. Adapun hal ini bukan tanpa alasan. Dengan menikmati tahapan kecil yang dilakukan, dapat membuat kamu lebih menghargai kemampuan yang ada pada dirimu
Selanjutnya merupakan langkah yang paling penting dalam tahapan eksekusi yaitu, fokus pada apa yang kamu kerjakan pada saat ini. Kamu cukup mengerjakan hal yang penting dan menghilangkan hal yang kurang penting. Salah satu cara, kamu dapat melakukannya dengan menerapkan skala prioritas.
Misalnya, pada hari ini kamu memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan A harus diberikan kepada atasan pada pukul 2 siang, sedangkan pekerjaan B memiliki deadline pada hari selanjutnya. Dari skala prioritas pekerjaan A lebih penting dari pekerjaan B. Maka kamu hanya perlu fokus untuk menyelesaikan pekerjaan A. Adapun ketika pekerjaan A selesai lebih cepat, maka kamu dapat mencicil pekerjaan B. Sehingga kamu tidak perlu bingung untuk memilih menyelesaikan beberapa pekerjaan tersebut.
Gimana guys? Tidak sulitkan untuk menerapkan konsep esensialisme? Semoga dapat membuat semua aktivitasmu menjadi lebih simpel dan jelas. Sehingga setiap pekerjaan yang akan kamu kerjakan dapat selesai lebih cepat dan efektif. Bagi kamu yang berminat untuk meningkatkan skill, langsung saja menuju Skill Academy. Selain tersedia kelas-kelas menarik, kamu juga akan belajar bersama instruktur yang profesional di bidangnya.
Referensi
McKeown, G. (2014). Essentialism: The disciplined pursuit of less. New York: Crown Business.
McKeown, G. (2014). If I Read One More Platitude-Filled Mission Statement, I’ll Scream. https://gregmckeown.com/read-one-platitude-filled-mission-statement-ill-scream/ [Daring]. (Diakses, 20 Mei 2021)
Olivola, C. Y. (2018). The Interpersonal Sunk-Cost Effect. Psychological Science, 29(7), 1072–1083. doi:10.1177/0956797617752641
Silvestre, Dan. (2018). Lessons from Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less by Greg Mckeown. https://medium.com/swlh/lessons-from-essentialism-the-disciplined-pursuit-of-less-by-greg-mckeown-416f49cc6a2d [Daring]. (Diakses, 20 Mei 2021)