Benarkah Tren Thrifting Akan Mengurangi Jatah Masyarakat Kurang Mampu?
Artikel ini membahas mengenai perdebatan jatah pakaian masyarakat kurang mampu di balik tren thrifting!
—
Bisnis jual-beli pakaian bekas atau thrifting cukup marak di beberapa tahun terakhir. Munculnya toko-toko online dengan menjual pakaian bekas menjadi salah satu buktinya. Berkembangnya jenis usaha ini bukan tanpa sebab. Berubahnya tren masyarakat hingga teknologi turut andil dalam perkembangan bisnis ini.
Berdasarkan sejarahnya, budaya awal dari penggunaan pakaian bekas ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Dikutip dari Times.com, budaya ini diawali dari pergerakan Salvation Army’s (1897) dan Goodwill Industries (1902) yang awalnya memberdayakan orang-orang miskin untuk mengolah kembali pakaian bekas sehingga menjadi layak pakai.
Namun, berkembangnya budaya thrifting hingga menjadi tren seperti saat ini membuat semua kalangan masyarakat bisa menjadi penjual atau pembeli, tak terkecuali orang-orang tingkat ekonomi menengah keatas
Saat ini kelompok masyarakat yang memiliki minat paling besar pada jenis bisnis ini adalah generasi millenial dan Z. Generasi ini turut andil dalam meningkatkan tren thrifting. Banyaknya jenis pakaian yang ada pada thrift shop juga membuat mereka dapat terus mengikuti fashion tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak.
Selain itu, toko-toko pakaian bekas juga memindahkan lapaknya ke media sosial seperti Instagram dan Depop. Adapun dengan tujuan mendapatkan lebih banyak konsumen dari kalangan generasi milenial. Selain peranan generasi milenial, tren ini juga turut dipopulerkan oleh para artis dan publik figur. Salah satunya yaitu Andien yang tidak segan menunjukkan penggunaan pakaian bekas di media sosialnya.
Peningkatan minat masyarakat terhadap thrifting
Berdasarkan tulisan pada Barkeley Economic Review (BER) yang berjudul Rise of Thrifting: Solution to Fast Fashion or Stealing from the Poor?, peningkatan minat masyarakat terhadap pakaian bekas terjadi karena upaya penghematan yang disebabkan oleh kepedulian terhadap lingkungan.
Menurut laporan “The State of Fashion 2019” sembilan dari sepuluh konsumen Generasi Z percaya bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial. Dikutip dari (BER), sebenarnya sudah ada beberapa brand pakaian yang menggunakan bahan daur ulang dan memperhatikan lingkungan seperti Reformation and Everlane. Namun, karena harga yang ditawarkan cukup tinggi membuat generasi Z lebih memilih untuk berbelanja di thrift shop.
Selain itu, pembelian pakaian bekas ini juga merupakan bentuk perlawanan dari praktik fast fashion. Secara sederhananya fast fashion adalah pergerakan industri tekstil yang menawarkan pakaian siap pakai dengan pergantian berbagai model dalam waktu singkat. Misalnya model pakaian musiman (panas/dingin). Namun, pada proses produksinya cenderung mengenyampingkan kesehatan lingkungan dengan menggunakan bahan kualitas rendah dan berbahaya.
Menurut Business Insider, produksi fashion menyumbang 10% dari total emisi karbon global dan hal ini menyebabkan mengeringnya sumber air serta mencemari sungai. Pencemaran tersebut juga disebabkan sisa air dari proses pewarnaan tekstil yang sering kali dibuang ke selokan atau sungai bahkan menjadi pencemar air terbesar kedua di dunia.
Terlebih lagi, 85% dari semua tekstil dibuang ke tempat sampah setiap tahunnya. Sedangkan menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, emisi dari manufaktur tekstil saja diproyeksikan akan meroket hingga 60% pada tahun 2030.
Namun, sejalan dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap thrifting ini, memunculkan sebuah ironi. Masyarakat seakan-akan serba salah. Di satu sisi masyarakat sudah memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Tetapi, di sisi lain, hal yang mereka lakukan berpotensi merugikan masyarakat kurang mampu.
Dampak tren thrifting terhadap masyarakat kurang mampu?
Menurut Ronobir (2020) dalam penelitiannya The socioeconomic causes and effects of the gentrified thrifting Experience “Meningkatnya permintaan oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas mengakibatkan banyak toko barang bekas menaikkan harga sehingga memperburuk ketimpangan pendapatan dan secara efektif meminggirkan penduduk yang paling bergantung pada pakaian bekas.”
Dikutip dari wawancara yang dilakukan oleh Kumparan.com terhadap beberapa thrift shop, faktor yang membuat harga pakaian bekas kini naik adalah pelayanan dari thrift shop itu sendiri, seperti effort hunting, waktu, dan tenaga. Selain itu, kelangkaan jenis dan brand juga mempengaruhi naiknya harga pakaian bekas tesebut.
Naiknya harga pakaian bekas ini juga sudah terjadi di seluruh dunia sejalan dengan peningkatan tren thrifting. Beberapa orang juga sengaja berburu pakaian bekas dengan tujuan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Dikutip dari Dazed.com, pada aplikasi Depop (jual-beli baju bekas) harga baju bekas naik cukup tinggi. Adapun yang terjadi adalah ditemukannya penjual yang menjual sebuah pakaian dengan harga 360 euro padahal harga aslinya hanya 15 euro.
Sedangkan di sisi lain, peningkatan minat dan naiknya harga pakaian bekas belum tentu mengurangi jumlah pasokannya. Menurut (BER), banyaknya pembelian tidak selalu mempengaruhi pasokan selama pakaian bekas tersebut diedarkan kembali ke pasar barang bekas daripada berakhir di sampah atau lebih baiknya didonasikan.
Berdasarkan Savers 2018 State of Reuse Report yang dikutip dari treehugger.com, dari 28% orang yang menyumbangkan pakaian bekas, hanya 7% orang yang membelinya. Selain itu, hanya 20% pakaian Amerika yang masuk ke toko-toko barang bekas yang dijual ke konsumen.
Sedangkan, menurut EPA (Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat), 11,3 juta ton tekstil termasuk pakaian bekas berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dan juga terhitung 7% dari limbah TPA nasional.
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah pasokan pakaian bekas masih berlebih dan cenderung berakhir di tempat sampah. Sehingga dari segi pasokan, masyarakat kurang mampu tidak kekurangan jatahnya. Tetapi, yang menjadi masalah adalah peningkatan harga pada pakaian bekas itu sendiri. Toko-toko pakaian bekas memiliki hak untuk menaikan harga sesuai dengan pelayanan dan usaha yang telah mereka lakukan.
Oleh karena itu, permasalahan terkait tren thrifting ini bergantung pada masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat saling memperhatikan dan tidak apatis terhadap situasi sosialnya. Nyatanya untuk di beberapa tempat masih ada toko-toko pakaian bekas atau lembaga donasi yang mementingkan masyarakat kurang mampu, seperti Street Store Indonesia.
Berdasarkan penjelasan diatas, kamu boleh saja berpendapat bahwa semua orang berhak untuk berbelanja pakaian bekas. Namun, perlu diketahui bahwa orang yang paling bergantung pada toko-toko pakaian bekas adalah mereka yang memiliki ekonomi menengah ke bawah.
Referensi
Businessinsider.com (2019). The fashion industry emits more carbon than international flights and maritime shipping combined. Here are the biggest ways it impacts the planet. https://www.businessinsider.com/fast-fashion-environmental-impact-pollution-emissions-waste-water-2019-10?r=US&IR=T/ (Diakses pada 17 Maret 2021)
Dazeddigital.com (2020). Is Depop being gentrified? Sellers and users weigh in on the debate. https://www.dazeddigital.com/fashion/article/50108/1/depop-gentrification-rare-vintage-expensive-prices-secondhand-sustainability/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Econreview.berkeley.edu (2019). Rise of Thrifting: Solution to Fast Fashion or Stealing from the Poor? hhttps://econreview.berkeley.edu/rise-of-thrifting-solution-to-fast-fashion-or-stealing-from-the-poor/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Epa.gov (2017). Facts and Figures about Materials, Waste and Recycling. https://www.epa.gov/facts-and-figures-about-materials-waste-and-recycling/textiles-material-specific-data/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Fimela.com (2019). Tak Malu, Andien Ungkap Nikmatnya Belanja Baju Bekas. https://www.fimela.com/news-entertainment/read/4069584/tak-malu-andien-ungkap-nikmatnya-belanja-baju-bekas/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Mckinsey.com (2018). The State of Fashion 2019. https://www.mckinsey.com/~/media/McKinsey/Industries/Retail/Our%20Insights/The%20State%20of%20Fashion%202019%20A%20year%20of%20awakening/The-State-of-Fashion-2019-final.ashx/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Kumparan.com (2019). Alasan Pakaian Bekas Bisa Dijual Mahal di Thrift Shop. https://kumparan.com/millennial/alasan-pakaian-bekas-bisa-dijual-mahal-di-thrift-shop-1sR0svIEsh7/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Remotivi.or.id (2021). Bagaimana Internet Mengubah “Thrift Shopping”. https://www.remotivi.or.id/mediapedia/659/bagaimana-internet-mengubah-thrift-shopping/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021
Ronobir JK Rajjo (2020). The socioeconomic causes and effects of the gentrified thrifting experience. The Finxerunt Movement Journal Research, 1(1). DOI: 10.5281/zenodo.3983464
Times.com (2018). People Have Been Reusing Clothes Forever But Thrift Shops Are Relatively New. Here’s Why. https://time.com/5364170/thrift-store-history/ [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)
Unfccc.int (2018). Fashion Industry, UN Pursue Climate Action for Sustainable Development. https://unfccc.int/news/fashion-industry-un-pursue-climate-action-for-sustainable-development/ (Konvensi Kerangka Kerja PBB) [Daring]. (Diakses pada 17 Maret 2021)